Pilkada serentak di Indonesia Rabu, 15 Februari 2017 lalu dinilai sukses
oleh banyak pihak. Tapi sayangnya, di Jakarta yang notabene Ibu kota negara
malah terdapat banyak pelanggaran. Abang saya sekeluarga sudah berangkat dari
pagi untuk pergi ke TPS. Saya ditinggal menjaga ponakan yang masih kecil karena
memang tidak memegang KTP DKI.
Sekitar pukul 12.45 Sepupu saya yang tinggal di Jakarta Barat tiba-tiba
menelpon dan bertanya apakah saya punya kenalan untuk membantu mereka di TPS 02
Kembangan Selatan, karena waktu pencoblosan sudah hampir habis tapi petugas TPS
tidak mengijinkan seorang pun dari orang-orang yang berkumpul di TPS yang namanya
tidak ada di DPT untuk mencoblos.
Petugas TPS mengatakan hanya
memberikan 20 kertas suara. Dan yang terdaftar di TPS tersebut sekitar 600
orang, berarti kertas cadangan sebanyak 2,5% hanya tersedia kertas suara
sebanyak 15 lembar sedangkan yang mengantri cukup banyak. Apakah ada
kesalahan data yang cukup fatal sehingga banyak yang tidak terdaftar?
Saya lalu memposting keluhan tersebut di media sosial, grup wa, facebook
dan twitter. Tidak lama kemudian postingan saya mendapat banyak tanggapan, ada
yang menyampaikan keluhan yang sama dan ada yang membantu memberi nomor kontak
yang bisa dihubungi.
Sambil tetap memantau keadaan di TPS sepupu, saya juga menghubungi
teman-teman yang punya nomor kontak ke relawan dan wartawan. Akhirnya ada juga
teman relawan yang bisa membantu dengan langsung memberikan informasi tersebut
di grup dan mengirimkan orang menuju lokasi.
Hampir jam 13:00wib saya bisa terhubung lagi dengan sepupu dan mendapat
informasi yang melegakan bahwa semua yang di lokasi yang membawa KTP dan KK
akhirnya diberi kertas suara walaupun sudah banyak yang pulang karena sudah
putus asa. Sepupu saya mengatakan, dari jam 12:00 mereka sampai di tempat,
petugas TPS tidak menunjukkan niat baik kepada warga yang tidak terdaftar. Bahkan
sampai sepupu saya telpon sekitar pukul 12:45 wib itu, petugas TPS tidak
mendata sama sekali oarng-orang yang hadir.
Setelah mendengar ada wartawan yang menuju lokasi, baru bawaslu yang ada di
lokasi bertanya daftar nama orang-orang yang sedang antri ke petugas TPS dan
buru-buru mendata. Ada juga polisi di lokasi, tetapi kata Abang senior anggota
Bawaslu yang ikut memberikan komentar di laman facebook saya mengatakan bahwa
polisi harus netral. Tapi apakah netral itu identik dengan diam?
Pada saat yang bersamaan, saya melihat banyak keluhan yang sama di media
sosial, tetapi karena data tidak lengkap tidak bisa dibantu kata teman saya
yang telah mengirimkan orang meninjau lokasi TPS yang saya laporkan. Mereka
bisa segera bertindak karenaTPS yang saya berikan jelas nomor dan lokasi.
Teman sekolah saya, yang namanya
juga tidak ada di DPT bisa dengan mudah mendapatkan hak-nya untuk mencoblos.
Suami teman kuliah saya juga katanya tidak dipersulit. Teman sekampung dan
teman kerja saya dipersulit dan dipimpong walaupun akhirnya mereka bisa
memilih. Ada juga pasangan suami istri yang lokasi pemilihannya terpisah jauh dari rumah dan lokasi pemilihan berbeda.
Semoga ini menjadi PR untuk KPU dalam berbenah menuju pilkada DKI putaran
kedua. Jangan ada lagi warga yang merasa dipersulit dan dirampas hak politiknya
di pesta demokrasi yang hanya berlangsung satu kali dalam 5 tahun ini. Pesis seperti
kata Bapak Jokowi di pilpres 2014, pesta demokrasi itu harus membuat warga
tertawa, bukan dipersulit apalagi dirampas hak pilihnya.
Tulisan ini diposting juga di Kompasiana