Rabu, 14 September 2016

Dewasa Menyikapi Keragaman Agama





Indonesia adalah negara bergama tetapi bukan negara agama, dimana diakui beberapa agama. Ada banyak cerita indah maupun sedih didalamnya. Indah apabila kita mau menyadari bahwa sesungguhnya agama itu adalah jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan tidak ada pembenaran agama sepihak.
Menjadi cerita sedih apabila kita tidak bisa menerima keberadaan agama orang lain dan selalu memunculkan perbedaan, padahal adakalanya perbedaaan itu akan selalu ada dan bahkan bisa menjadi keindahan apabila kita bisa merangkainya menjadi harmoni yang saling melengkapi. Saya pernah membaca sebuah candaan yang menyebut "Apabila ada pemaksaan satu agama di Indonesia, maka saya yang pertama protes, karena itu mengurangi hari libur nasional".
Sedari dulu sudah ada pengkotak-kotakan, tanpa kita sadari saat kecil kita suka membanding-bandingkan diri kita dengan diri orang lain, termasuk agama. Seperti di kampung saya, walaupun semua 1 agama tapi terdapat beberapa rumah ibadah. Kita suka menghitung - hitung jemaat di mana yang paling banyak, rumah ibadah yang terlihat lebih bagus dan orang-orang didalamnya kita analisa satu persatu, padahal waktu itu masih sangat kecil. Belum mengerti arti sesungguhnya dengan beribadah dan beriman.
Seiring bertambahnya usia, ternyata pemikiran terkotak-kotak itu juga perlahan memudar. Ditambah akhirnya berteman dan bergaul dengan banyak orang dengan beragam latar belakang. Semakin mengerti bahwa setiap orang mempunyai alasaan untuk kepercayaan yang diyakininya. Perlu sikap yang dewasa untuk bisa menyadari bahwa kita tidak bisa memaksakan pemikiran dan keyakinan kepada orang lain.
Zaman semakin canggih, orang tidak lagi bertegur sapa hanya karena kenal atau memiliki hubungan. Tidak lagi lewat surat dan kabel telepon. Hanya dengan kenal satu orang kita bisa berbalas komentar dengan temannya teman, temannya teman tersebut dan berputar-putar sampai kadang kita tidak tahu dengan siapa saja kita saling bertegur sapa dan berkomentar.
Selain menambah wawasan, berbagi pendapat ada juga sisi negatif dari pergaulan di media sosial. Disengaja atau tidak ternyata kita menemukan banyak orang yang sengaja memancing keributan, mempertajam perbedaan dan membuat batas antara keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lain. Untuk itu kita perlu merawat toleransi era media sosial

Sepanjang saya tahu itu tidak benar, saya mencoba ikut memberikan komentar, bukan sengaja masuk kedalam perdebatan tetapi membiarkan ketidakbenaran di depan mata, itu artinya kita membiarkan orang lain tetap dengan ketidaktahuannya atau akan semakin bertambah orang yang menganggap yang salah itu adalah benar.
Setiap kita yang ingin negeri ini tetap aman dan damai harus Ikut menyuarakan untuk menghargai keyakinan orang lain. Bukan hanya tidak mengusik ibadah orang yang berbeda keyakinan dengan kita tetapi juga dengan tidak memberikan pendapat-pendapat negatif terhadap ritual atau apapun yang berhubungan dengan keyakinan orang lain.
Tetap menjalin hubungan atau berteman dengan orang-orang yang menyuarakan toleransi di negeri ini. Kita memang tidak bisa mengubah orang lain untuk bisa menerima/menghargai keyakinan orang lain. Tetapi dengan tetap menyuarakan untuk membangun rasa toleransi, semoga orang-orang yang masih tertutup hatinya terhadap perbedaan dapat berubah untuk menyadari bahwa keyakinan orang lainpun diakui di negeri ini dan setiap kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Salam toleransi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar